Apa yang kalian pikirkan tentang nasionalisme?
Ikatan yang bisa mempersatukan seluruh anggota masyarakat? Yang berbeda suku, agama, budaya dan lain sebagainya?
Ikatan yang bisa mempersatukan seluruh anggota masyarakat? Yang berbeda suku, agama, budaya dan lain sebagainya?
Mhmmm... itulah yang saya pikirkan dulu, dulu kala. Tak bisa dipungkiri sebagian dari masyarakat kita menggangap nasionalisme sebagai paham yang harus terus menerus di lestarikan dan di tanamkan dalam setiap jiwa yang berstatus sebagai warga negara. Nasionalisme merupakan paham kebangsaan yang diyakini sebagai faktor yang ampuh untuk memperkuat negara sekaligus dapat mempersatukan seluruh elemen warga negara yang terdiri dari banyak suku bangsa seperti negara kita ini, Indonesia.
Tapi pernahkah terpikirkan bahwa ada banyak konflik yang dipicu dari paham ini. Seperti konflik Indonesia dengan Malaysia dalam perebutan wilayah perbatasan sampai masalah klaim budaya, itu karena apa? Nasionalisme masing-masing. Timor Timur yang bercerai dengan Indonesia juga merupakan bukti kalau nasionalisme telah gagal menjaga kesatuan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Belum lagi adanya gerakan sparatis di Papua atau Aceh, itu juga sukses menambah antrian panjang konflik dari rahim Nasionalisme yang tidak bisa menjadi perekat antar warga negara. Ada juga konflik sosial bahkan tawuran antar warga mulai dari urusan Pilkada sampai urusan sepakbola. Komplit, semua itu menujukkan betapa rapuh dan lemahnya nasionalisme yang katanya bisa menjadi faktor yang mempersatukan antar warga negara.
Lebih mengenaskan lagi, Indonesia yang sebagian besar penduduknya muslim, nasionalisme sejatinya telah membunuh jiwa dan semangat ukhuwah Islamiyah yang bersifat universal. Karena Nasionalisme kita dicegah untuk peduli terhadap saudara-saudara kita yang tertindas dan mengalami pembantaian massal di Palestina, Kashmir, Moro, Rohingya, Afganistan, Irak, Suriah dan berbagai belahan bumi lain. Nasionalisme seketika membuat kita gagap dalam merespon setiap peristiwa kekejian yang menimpa umat Islam di luar negeri.
Lho kan ada hadistnya, yang bunyinya "cinta tanah air sebagian dari iman"? Nasionalisme berarti kan cinta tanah air?
Betul, ada hadist yang menyatakan: Hubbu al-wathan al-iman (Cinta tanah air bagian dari iman). Hanya saja, sebagaimana penuturan dari Imam ash-Shan'ani dalam Kitab Mawdhu'at ash-Shan'ani, hlm.47, hadist no:81; hadis ini mawdlu' (palsu). Dan ahli hadits lain menyatakan kalau hadits ini dusta (makdzub) dan tidak ada asal-usulnya (la ashla lahu). Imam Sakhawi dan al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, ulama besar mazhab Syafii, juga menyatakan, "Lam aqif 'alayhi" (Saya tidak mengetahui hadist ini). Dengan demikian, hadist ini tidak sah dijadikan hujjah karena sumbernya (tsubut) catat, maka isinya (matn al-hadist) tidak perlu dilihat lagi.
Bukankah cinta itu naluriah...?
Betul, ada hadist yang menyatakan: Hubbu al-wathan al-iman (Cinta tanah air bagian dari iman). Hanya saja, sebagaimana penuturan dari Imam ash-Shan'ani dalam Kitab Mawdhu'at ash-Shan'ani, hlm.47, hadist no:81; hadis ini mawdlu' (palsu). Dan ahli hadits lain menyatakan kalau hadits ini dusta (makdzub) dan tidak ada asal-usulnya (la ashla lahu). Imam Sakhawi dan al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, ulama besar mazhab Syafii, juga menyatakan, "Lam aqif 'alayhi" (Saya tidak mengetahui hadist ini). Dengan demikian, hadist ini tidak sah dijadikan hujjah karena sumbernya (tsubut) catat, maka isinya (matn al-hadist) tidak perlu dilihat lagi.
Bukankah cinta itu naluriah...?
Cinta tanah air sama seperti cinta akan kekuasaan, harta, anak dan klan yang memang termasuk dalam perkara naluriah (amr gharizi) yang ada pada setiap manusia, baik mukmin maupun kafir. Ingat, Islam tidak melarang atau berusaha memberangus naluri itu. Namun, Nabi saw. tidak memasukkan "cinta tanah air dan kaum" dalam 'ashabiyyah. Imam Ibnu Majah menuturkan sebuah riwayat dari Fasilah ra dari bapaknya, bahwa ia berkata: Telah bertanya seorang laki-laki. "Ya Rasulullah, adakah termasuk 'ashabiyah seorang mencintai kaumnya?" Sabda beliau, "Tidak! Yang termasuk ashabiyyah adalah seorang menolong kaumnya atas kedzaliman." (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah)
Karena termasuk perkara naluriah, maka cinta tanah air tidak berhubungan samasekali dengan keimanan. Sebab, naluri ini ada pada setiap orang, baik mukmin maupun kafir, shalih maupun thalih. Banyak orang cinta tanah airnya bahkan rela mati untuk membelanya namun ia tidak punya iman. Iman tidak ditentukan sejauh mana seseorang cinta akan tanah airnya, tetapi di tentukan sejauh mana ia makrifat dan meyakini perkara-perkara keimanan. Barangkali yang dimaksud "cinta tanah air bagian dari iman" adalah mencintai negeri atau tempat yang menerapkan Islam, dan membelanya karena Islam karena seorang muslim wajib berjihad melawan orang-orang kafir yang berusaha menguasai negerinya. Jadi, perang melawan orang kafir yang meneyerang negeri kita tidak boleh di dasarkan pada kecintaan pada tanah air, atau di dasarkan pada patriotisme dan nasionalisme. Seorang muslim wajib mempertahankan negerinya karena keimanannya, bukan karena yang lain. Seseorang yang berperang melawan orang-orang kafir hanya karena patriotisme, nasionalisme atau cinta tanah air, maka peperangannya tidak dianggap ibadah kepada Allah SWT. Jika ia mati, ia tidak layak disebut syahid. Sebab, jihad kaum muslim melawan orang kafir harus didasarkan pada akidah Islam, dan semata-mata karena menunaikan perintah Allah SWT; bukan karena cinta tanah air; spirit patriotisme dan nasionalisme.
Bukankah di dalam al-Quran kita diciptakan berbangsa-bangsa agar saling mengenal. Itu artinya identitas bangsa harus dipertahankan dan itu sama saja bukan dengan nasionalisme?
Menurut Hans Kohn nasionalisme adalah suatu keadaan pada individu saat dia merasa bahwa pengabdian paling tinggi adalah untuk bangsa dan tanah air. Dengan kata lain, nasionalisme adalah paham yang mengunggulkan dan mengutamakan kebangsaan dan menomorduakan paham lain. Bagi seorang nasionalis bangsa adalah segala-galanya. Tidak ada yang lebih penting dalam hidupnya kecuali meraih kejayaan dan membela bangsanya. Tidaklah aneh jika kaum nasionalis tega memberangus bahkan mematikan paham atau ide keagamaan jika ide dan paham tersebut dianggap bertentangan dengan nasionalisme dan mengganggu kepentingan nasional. Dalam al-Quran surat al-Hujurat ayat 13 memang Allah SWT menyatakan (yang artinya): Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari lelaki dan perempuan; Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang mulia diantara kalian adalah yang paling bertaqwa di sisi Allah. Ayat ini hanya menuturkan tentang keragaman (pluralitas) bangsa, ras dan suku agar manusi saling mengenal, tolong menolong dan mengetahui nasab masing-masaing. Tak ada keutamaan satu suku atas suku yang lain. Keutamaan diukur dari tingkat ketaqwaan. Dari arah manapun, ayat ini sama sekali tidak menunjukkan pensyariatan nasionalisme. Islam justru memerintahkan umatnya untuk bersatu dan mencampakkan sejauh-jauhnya ikatan-ikata sektarian, seperti kebangsaan, suku dan ras.
Lalu identitas apa yang harus kita miliki dan bagaimana cara membangunnya?
Identitas yang harus disandang seorang muslim adalah Islam yang merupakan pilar utama bagi kehidupan seorang mukmin. Seluruh keyakinan, perkataan dan perbuatan seorang muslim harus lahir dari Islam. Islam adalah pandangan dan jalan hidupnya. Islam adalah ruh yang menggerakan pikiran dan perasaan seorang muslim. Seorang muslim boleh saja berasal dari suku, bangsa, atau daerah tertentu; atau menggunakan suku atau daerah tertentu sebagai nasabnya. Akan tetapi, mereka diikat dan disatukan dengan akidah Islam. Yang menjadikan mereka mulia bukan nasab atau sal daerah mereka, tetapi keterikatannya dengan Islam (Taqwa).
Adapun cara membangun identitas Islam pada diri seorang muslim adalah:
1. Menanamkan akidah Islam di dada kaum muslim.
Akidah yang kuat dan mengakar akan mendorong seseorang untuk menjalankan syariah Islam secara kaffah. Sebab, ia menyadari sepenuhnya bahwa menjalankan syariah Islam adalah wujud dari keimanan.
2. Mengingatkan umat Islam bahwa Khilafah Islam dalah satu-satunya sistem pemerintahan yang syar'i yang wajib ditegakkan oleh umat Islam.
Khilafah Islam adalah institusi politik yang bertugas menerapkan syariah Islam di dalam negeri, menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad; serta menyatukan seluruh kaum muslim dari ujung timur hingga ujung barat. Dakwah untuk menegakkan dan menjaga eksistensi Khilafah Islam harus dijadikan ikon dakwah untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan kaum muslim seluruh dunia; juga agar kehidupan Islam bisa dilangsungkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Khilafah Islam adalah institusi politik yang bertugas menerapkan syariah Islam di dalam negeri, menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad; serta menyatukan seluruh kaum muslim dari ujung timur hingga ujung barat. Dakwah untuk menegakkan dan menjaga eksistensi Khilafah Islam harus dijadikan ikon dakwah untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan kaum muslim seluruh dunia; juga agar kehidupan Islam bisa dilangsungkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
3. Mengobarkan terus spirit jihad di dada kaum Muslim.
Jihad fi sabilillah merupakan salah satu instrumen syar'i untuk mempertahankan eksistensi akidah Islam dan Khilafah Islam. Dengan spirit ini kaum muslim akan terus tergerak untuk selalu menjaga akidahnya dan negaranya dari ancaman musuh Islam dan aum muslim. Dengan cara seperti ini, identitas Islam akan terus disandang kaum muslim secara individu maupun kolektif.
Apakah bisa nasionalisme mewadahi keberagaman sehingga orang yang berbeda agama, aliran, partai, kelompok dsb bisa hidup bersama?
Nasionalisme itu haram diaopsi, diterapkan, dan di dakwahkan. Nasionalisme tidak boleh dijadikan wadah untuk mengikat keberagaman. Pasalnya ikatan nasionalisme adalah ikatan temporal dan 'ashabiyyah. Ikatan yang harus dijadikan pengikat keragaman adalah ikatan yang bercorak ideologis, bukan nasionalisme.
Berarti berbahaya buat umat Islam?
Tepatnya berbahaya bagi seluruh umat manusia. Bahaya nasionalisme bagi seluruh umat Islam adalah:
1. Mengembalikan umat Islam pada ikatan-ikatan 'ashabiyyah yang telah dihapus oleh syariah Islam. Ikatan 'ashabiyyah inilah yang telah dihapus oleh syariah Islam. Ikatan ashabiyyah inilah dalam banyak hal menjadi faktor penting dalam penciptaan konflik dan permusuhan antara negara, suku, dan kelompok
2. Memecah belah persatuan dan kesatuan umat Islam. Umat Islam sebagaimana ketetapan syariah Islam wajib hidup bersatu (berjama'ah) di bawah kepemimpinan tunggal seorang Khalifah. Seorang muslim dilarang memisahkan diri dari jamaah. Nabi saw. telah memerintahkan kaum muslim untuk memerangi siap saja yang berusaha memecah belah mereka.
3. Menghambat atau setidaknya memperlambat lalu lintas barang dan manusia. Nasionalisme dengan negara bangsanya memunculkan apa yang disebut dengan "cost-cost nasionalistik" yang sebenarnya tidak perlu. Dulu kaum muslim yang ada di Irak, Yaman, dan Madinah bebas berhubungan dan berdagang satu sama lain tanpa dikenai arif. Kaum muslim bebas bergerak untuk melakukan aktivitas ekonomi, menuntut ilmu, dan lain sebagainya, di dalam Daulah Khilafah Islam sejauh manapun mereka bergerak. Tidak ada hambatan tarif ataupun ahambatan legal formal. Namun, adanya lebih dari 50 negara-negara menyebabkan kaum muslim tidak bebas bergerak, bahkan sekadar untuk menolong saudara muslimnya yang dizalimi orang-orang kafir, mereka selalu terhalang.
4. Melahirkan negara-negara yang hanya mengedepankan kepentingan sendiri. Altruisme universal terkikis oleh nasionalisme.
5. Nasionalisme bertentangan sifat dan karakter agama Islam. Islam adalah agama universal yang tidak hanya diperuntukkan bagi suku, ras, negara atau bangsa tertentu; tetapi bersifat menyeluruh untuk seluruh umat manusia. Nasionalisme juga bertentangan dengan konsepsi politik Islam (Khilafah Islam) yang mengharuskan kepemimpinan tunggal di seluruh dunia. Islam melarang adanya dualisme kepemimpinan dan negara, Nabi saw. pernah bersabda (artinya), "Apabila dibaiat dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya." (HR. Muslim). Jelas kaum muslim wajib hidup dibawah satu kepemimpinan dan negara. Mereka dilarang mendirikan institusi negara lebih dari satu. Berbeda dengan nasionalisme, paham ini justru melegalkan adanya banyak negara dan kepemimpinan.
Kalau bukan nasionalisme harus dengan apa dan bagaimana mewujudkannya?
Umat manusia hanya bisa hidup berdampingan satu dengan yang lain, saling mendukung dan menopang jika di sana da sistem kekuasaan global yang menerapkan aturan yang bisa menjamin kesejahteraan, keadilan dan rasa aman. Hal ini hanya bisa terwujud jika sistem politik yang menopang kehidupan manusia berwujud sistem politik global, yang menerapkan aturan paling baik yang bersal dari Zat Yang Mahatahu dan paing menegtahui apa yang paling baik bagi mereka. Sistem politik itu adalah Khilafah Islam dengan aturan yang diterapkan adalah syariah Islam.
Karena itu kaum muslim harus berjuang kembali menerapkan Khilafah Islamiyyah sebagai thariqah syar'iyyah untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah. Perjuangan terebut harus barjama'ah, melaui manhaj (jalan) yang telah digariskan oleh Nabi saw., tidak musyarakah, dan dilakukan tanpa kekerasan. Adapun thariqah untuk menegakan Khilafah Islam harus dilakukan dengan thalabun nushrah, buka dengan jihad atau masyarakah dalam sistem pemerintahan kufur. Wallahu a'lam bi ash-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar